Kebudayaan Sunda
Istilah Sunda kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau
suddha yang berarti bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa
kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah Sunda dalam pengertian
yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan,
pangkat, dan waspada.
Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip
Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan
dataran bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh
sistem Gunung Sunda yang melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang
panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri atas dua bagian
utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan
pulau-pulau karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian
Selatan hingga Lembah Brahmaputra di Assam (India).
Dengan
demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai
Pulau Banda di timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di
kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island), Jawa, Sumatra,
Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya,
dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat
dan dataran Sahul di Timur.
Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal
pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah himpunan
pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan,
sedangkan Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini
termasuk kedalam Provinsi Bali, Nusa Tenggara, dan Timor.
Dalam
perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia
atau sekelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda).
Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan
(hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut
kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya,
baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang
Sunda, di mana pun ia atau mereka berada dan dibesarkan. Menurut
kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam
lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta
mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dalam hal ini
tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap
penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya orang
Sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal,
menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya
Sunda dalam hidupnya.
Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga
dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang
dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan
berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di
Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan sosial budaya Indonesia digolongkan ke
dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki persamaan-persamaan dengan
kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki
ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan
lain.
Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering
dikenal dengan masyarakat yang memiliki budaya religius. Kecenderungan
ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih, silih asah, dan silih
asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara
dan melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya
lain yang khas seperti kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap
sesama; penghormatan kepada orang tua atau kepada orang yang lebih tua,
serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah ka nu
leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan
(nulung ka nu butuh nalang ka nu susah), dsb.
Strategi budaya
“Silih
asih, silih asah, dan silih asuh” (saling mengasihi, saling mempertajam
diri, dan saling memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya
yang menunjukkan karakter yang khas dari budaya religius Sunda sebagai
konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.
Contoh Kebudayaan Sunda :
Angklung
Gamelan
Angklung adalah gamelan berlaras slendro, tergolong barungan madya yang
dibentuk oleh instrumen berbilah dan pencon dari krawang, kadang-kadang
ditambah angklung bambu kocok (yang berukuran kecil). Dibentuk oleh
alat-alat gamelan yang relatif kecil dan ringan (sehingga mudah
dimainkan sambil berprosesi).
Di Bali Selatan gamelan ini hanya mempergunakan 4 nada sedangkan di Bali Utara mempergunakan 5 nada.
Berdasarkan konteks penggunaaan gamelan ini, serta materi tabuh yang dibawakan angklung dapat dibedakan menjadi:
Angklung klasik/ tradisional dimainkan untuk mengiringi upacara (tanpatari-tarian)
Angklung kebyar dimainkan untuk mengiringi pagelaran tari maupun drama.
Satu
barung gamelan angklung bisa berperan keduanya, karena seringkali
mempergunakan alat-alat gamelan dan penabuh yang sama. Di kalangan
masyarakat luas gamelan ini dikenal sebagai pengiring upacara-upacara
Pitra Yadnya (ngaben).
Di sekitar kota Denpasar dan beberapa
tempat lainnya, penguburan mayat warga Tionghoa seringkali diiringi
dengan Gamelan angklung. menggantikan fungsi gamelan Gong Gede yang
dipakai untuk mengiringi upacara Dewa Yadnya (odalan) dan upacara
lainnya.
Instrumentasi Gamelan angklung terdiri dari:
Jumlah Satuan Instrumen
6-8 pasang yang terdiri dari sepasang jegogan, jublag dan selebihnya pamade dan kantilan
3-4 pencon reyong, untuk Angklung Kebyar mempergunakan 12 pencon
2 buah kendang kecil untuk angklung klasik dan kendang besar angklung kebyar
1 buah tawa -tawa
1 buah kempur kecuali angklung kebyar mempergunakan gong
Wayang Golek
Wayang
Golek adalah suatu seni pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka
kayu, yang terutama sangat populer di wilayah Tanah Pasundan.
Wayang
adalah bentuk teater rakyat yang sangat popular. Orang sering
menghubungkan kata “wayang” dengan ”bayang”, karena dilihat dari
pertunjukan wayang kulit yang memakai layar, dimana muncul
bayangan-bayangan. Di Jawa Barat, selain wayang kulit, yang paling
populer adalah wayang golek. Berkenaan dengan wayang golek, ada dua
macam diantaranya wayang golek papak (cepak) dan wayang golek purwa yang
ada di daerah Sunda. Kecuali wayang wong, dari semua wayang itu
dimainkan oleh seorang dalang sebagai pemimpin pertunjukan yang
sekaligus menyanyikan suluk, menyuarakan antawacana, mengatur gamelan
mengatur lagu dan lain-lain.
Perkembangan
Sebagaimana alur
cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya
memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari
cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan
iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron,
sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat
boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong),
ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah
kulanter), gambang dan rebab.
Sejak 1920-an, selama pertunjukan
wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu
sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu
sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah
sekitar tahun 1960-an.
Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang
biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja
dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para
dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa
dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda,
Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep
Supriadi dll.
Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai
berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending
jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak
unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang
gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan
9) Tutug.
Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah
ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang
yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2)
Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba
(empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima
putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra
dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua
orang putra), dan sebagainya.
Wayang golek saat ini lebih dominan
sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan
dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan
spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa
kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta
kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya
diriingi dengan pertunjukan wayang golek.
Media penyebaran Islam
Menurut
dugaan, sebagaimana wayang kulit di daerah Jawa, wayang golek digunakan
oleh para wali untuk menyebarkan Islam di Tanah Pasundan. Karena ajaran
Hindu sudah cukup akrab di masyarakat Sunda kala itu, cerita Mahabrata
dan Ramayana dari Tanah Hindu dimodifikasi untuk mengajarkan Ketauhidan.
Misalkan, dalam cerita Mahabharata para dewa punya wewenang yang sangat
absolut, sebagai penentu nasib dan takdir yang tidak bisa disanggah
maka para wali membuat objek baru yang posisinya lebih kuat yaitu lewat
tokoh Semar yang pada akhirnya Semar tersebut turun ke bumi -yang karena
kesalahannya- untuk mendampingi setiap kejadian dalam babak Bharata
Yuddha baik sebagai penengah atau sebagai eksekutor tokoh yang tidak
bisa diajak ke dalam kebaikan.
Jaipongan
Jaipongan adalah
sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal
Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah
satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul
perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada
Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas
cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang
kini dikenal dengan nama Jaipongan.
Sejarah Jaipongan
Sebelum
bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang
melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di Jawa Barat misalnya, tari
pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam
pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan
pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk
kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan
ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang
simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu
dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar
tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya
didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi
rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian
pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang
baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring
dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton
yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub)
beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah
Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan
Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya
maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian
sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi
tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang,
di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng
Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola
tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan,
nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi
dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari
Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet
adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum
Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena
dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama
Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik
dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi
populer dengan sebutan Jaipongan.
Perkembangan
Karya
Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari “Daun
Pulus Keser Bojong” dan “Rendeng Bojong” yang keduanya merupakan jenis
tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu
muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh,
Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian
tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan
yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama
Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan
pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari
kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di
media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan
oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih
aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang
perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para
penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan,
dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu
undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini
dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi
dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa
Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya “kaleran” (utara).
Ciri
khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris,
semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu
tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi
pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga
ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni
Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada
Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya,
Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang
Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya
dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi
tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5)
Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton
(bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan
diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton
(bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada
taahun 1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya
seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut,
Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari
tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal
antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna,
Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan
Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu
identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara
penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke
Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian
pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi
dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi
kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni
pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan
hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang
dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang
telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni
sumber:http://reptarboiy.wordpress.com